Sunday, May 11, 2014

Cuciannya Nggak Bersih

 Sepasang suami istri baru saja pindah rumah.

Suatu pagi saat mereka sedang menikmati sarapan di ruang makan, sang istri melihat tetangga sebelah rumah sedang menjemur pakaian di halamannya.

"Lihat deh, Mas, tetangga kita itu. Cuciannya nggak bersih. Kayaknya sabun cucinya nggak bener itu," katanya sambil memandang dari balik jendela.

Sang suami menengok sebentar, dan tetap diam. Sejak saat itu, setiap kali si tetangga menjemur pakaiannya, sang istri selalu memberikan komentar yang sama.

Sebulan kemudian, sang istri kaget melihat betapa bersih pakaian yang dijemur tetangganya. "Wah, Mas! Lihat deh. Kayaknya dia udah ngerti cara nyuci yang benar. Siapa yang ngasih tahu, ya?"

Kali ini tanpa menengok, sang suami berkata, "Akhirnya aku bisa bangun agak pagian hari ini. Jadi aku sempat membersihkan jendela kita."

Dan memang beginilah hidup itu. Yang kita lihat pada diri orang lain tergantung pada seberapa bersih jendela kita sendiri...


Dari The Laundry Is Not Very Clean
Tautan asli: http://paulocoelhoblog.com/2014/04/04/10-sec-reading-the-laundry-is-not-very-clean/

Saturday, December 15, 2012

Intermezzo: Ya ampun!

Sudah lama tidak ngeblog, karena kesibukan dan kemalasan tingkat tinggi, saya kembali lagi. Kali ini dengan yang ringan-ringan dulu, ya.



Wanda dan Sylvia sedang mengobrol di akhirat. "Sylvia, bagaimana kamu mati?" tanya Wanda.

"Aku mati kedinginan," jawab Sylvia.

"Aduh, pasti menakutkan sekali!" seru Wanda.

"Ah, nggak juga," timpal Sylvia. "Setelah tubuhku berhenti menggigil kedinginan, aku mulai merasa tubuhku menghangat dan mengantuk, lalu akhirnya meninggal dengan tenang. Kalau kamu bagaimana?"

"Aku mati karena serangan jantung," jawab Wanda. "Aku curiga kalau suamiku berselingkuh, maka suatu hari aku pulang lebih awal untuk memergokinya. Tapi ternyata dia sedang sendirian menonton televisi di ruang kerjanya."

"Terus apa yang terjadi?"

"Aku yakin banget ada wanita lain di dalam rumahku, makanya aku mulai berlari-larian ke segala penjuru rumah mencari-cari, aku naik ke loteng, turun ke ruang bawah tanah, membongkar-bongkar semua lemari dan memeriksa semua kolong tempat tidur. Tanpa sadar aku kecapekan dan tiba-tiba saja terkena serangan jantung lalu meninggal."

"Ya ampun, Wanda!" seru Sylvia. "Kenapa kamu nggak memeriksa freezer-mu? Coba begitu, kita berdua pasti masih hidup sekarang!"


Cerita asli:"Double Demise"
Reader's Digest Indonesia, Desember 2012

Gambar: http://emperiumfreak.blogspot.com/2009/10/its-freezing-cold-today-when-i-woke-up.html

Tuesday, June 5, 2012

Terapkan Mentalitas Kelimpahan

Diterjemahkan sesukanya dari buku "SIMPLIFY and Live the Good Life" karya Bo Sanchez

Langkah ketiga adalah menerapkan mentalitas kelimpahan. Apa itu? Percayalah bahwa ada cukup uang tersedia di luar sana!

Beberapa orang terjebak dalam mentalitas "kekurangan". 

Mereka berpikir bahwa kita harus jadi orang yang licik, yang tidak jujur, yang bersaing secara tidak sehat, yang bersedia menghalalkan segala cara, supaya mendapatkan sejumlah kecil uang yang berseliweran begitu cepat di sekeliling kita sampai-sampai teramat susah untuk menangkapnya.

Itu sama sekali tidak benar. 

Tuhan telah menciptakan sebuah dunia yang luas, cukup luas untuk setiap orang yang tinggal di dalamnya.

Hasilkan uang dengan menerapkan mentalitas kelimpahan. Pandanglah sekelilingmu, dan lihatlah bahwa kesempatanmu untuk menghasilkan uang ada di mana-mana. Dan kesempatan itu amat sangat besar! Memang sih, supaya bisa melihatnya, kamu harus melatih pikiranmu untuk berkeyakinan bahwa memang ada kesempatan-kesempatan itu di luar sana. Jika kamu percaya bahwa tidak ada atau cuma ada sangat sedikit kesempatan buatmu, maka kamu akan sangat kesulitan menemukannya. Karena pikiranmu akan mulai mencari hal-hal yang membenarkan apa yang kaupercayai.

Jadi, ubahlah ekspektasimu. Pikirkan tentang suatu kelimpahan.

Iseng-iseng, selama suatu liburan musim panas, aku mendaftarkan anak-anak asuhku yang tinggal di panti asuhan ke sebuah kursus kejuruan di sebuah sekolah negeri. Kursus itu cukup singkat, cuma berlangsung selama 3 minggu. Pilihan kursusnya banyak, tapi anak-anak perempuanku memilih kursus kosmetik, dan seorang anak lelaki memilih kursus teknisi AC. Mereka masih harus bersekolah biasa seusai liburan, jadi mereka tidak belajar di sini supaya bisa bekerja, hanya untuk memperluas pengetahuan mereka saja. Tapi aku kagum dengan kerja keras dan komitmen sekolah kecil ini: setelah kelulusan, mereka membantu murid-muridnya untuk mendapatkan pekerjaan. Anak-anakku akhirnya punya teman-teman sekelas yang sudah mendapatkan pekerjaan dan menghasilkan uang sendiri bahkan sebelum lulus dari kursus singkat ini.

Kondisi yang sangat bertolak belakang aku lihat saat kami berjalan pulang ke rumah dan melewati perkampungan miskin di dekat panti asuhan tempat anak-anakku tinggal. Aku melihat pemandangan menyedihkan yang aku lihat setiap hari: orang-orang pengangguran duduk di depan rumah tripleks mereka, tak melakukan apa pun kecuali mengobrol dan merokok. Aku ingat pernah bertanya kepada beberapa dari mereka, "Kenapa kau tidak melamar pekerjaan?" dan mereka akan menjawab, "Aku tidak lulus sekolah." Ketika aku mendorong mereka untuk belajar sesuatu--apapun itu--mereka bilang bahwa mereka tidak punya uang, tidak punya waktu, tidak punya nyali....

Padahal, kenyataannya mereka terjebak dalam mentalitas kekurangan. Mereka meyakini bahwa orang-orang kaya telah menguasai seluruh kekayaan di dunia ini, dan mereka hanya bisa mengumpulkan remah-remah yang terjatuh dari meja makan orang-orang kaya itu.

Itu tidak benar.

Uang ada di mana-mana. Tersedia untukmu dan kita semua.

Terapkan mentalitas kelimpahan.

Aku percaya bahwa Tuhan telah mencukupi untuk kebutuhan kita, bahkan lebih dari cukup supaya kita lebih murah hati, jika kita percaya, dan mulai bekerja.



Friday, May 25, 2012

Murnikan Motifmu Dalam Menghasilkan Uang

(Diterjemahkan asal-asalan dari buku SIMPLIFY And Live the Good Life karya Bo Sanchez)


Setelah memurnikan pandanganmu terhadap uang, langkah berikutnya untuk menghasilkan uang adalah memurnikan motifmu. Jika kamu ingin hidup merdeka dan bahagia, motif atau alasan-alasanmu dalam menghasilkan uang harus benar-benar murni, harus datang dari hati nuranimu.

Tanyakan pada dirimu sendiri: Mengapa kamu menginginkan lebih banyak uang?

Untuk mencukupi kebutuhan pokok keluargamu?

Untuk melaksanakan kewajiban yang diberikan Tuhan selaku pasangan dan orang tua?

Untuk lebih banyak berderma kepada sesama yang membutuhkan?

Untuk memiliki kebebasan pribadi dalam mewujudkan cinta pada orang lain?

Bila motif-motifmu dalam menghasilkan uang sejalan dengan hati nuranimu, dengan nilai-nilai kehidupan utama yang kauanut, maka kamu akan melakukan segala ikhtiarmu dalam mencari uang sebagai sosok manusia yang utuh. Kamu akan bergerak, berjalan, dan berbicara dengan penuh integritas. Dengan penuh kedamaian dan kebahagiaan! Perjuanganmu akan menyenangkan, karena hatimu ada di sana.

Namun, jika motifmu bertentangan dengan hati nuranimu atau nilai-nilai utama yang kauanut, kamu akan bekerja mencari uang sebagai pribadi yang terpecah. Jika alasanmu mencari lebih banyak uang adalah semata-mata untuk menumpuk kekayaan secara egois, atau hal-hal dangkal seperti penghormatan dari orang lain, status sosial di lingkungan masyarakat, dsb., hati nuranimu akan memberontak, dan kamu akan mengalami kehilangan integritas--suatu perpecahan dalam karaktermu. Kamu bisa saja mencapai target finansialmu, tapi kamu tidak akan merasakan kedamaian di dalam hatimu.

Solusinya?

Turuti hati nuranimu, dan ubahlah motifmu supaya sesuai dengannya.

Hasilkan uang dengan kemurnian hati. Dapatkan kekayaan tanpa membuat jiwamu kering.

Murnikan motifmu dalam menghasilkan uang.

Thursday, May 24, 2012

Murnikan Pemikiranmu Terhadap Uang

(Diterjemahkan asal-asalan dari buku SIMPLIFY And Live the Good Life karya Bo Sanchez)


Langkah pertama untuk menghasilkan uang adalah memurnikan pemikiranmu terhadap uang.

Jika di suatu tempat dalam otakmu kamu berpikir bahwa uang itu jahat, sehingga mencari uang adalah tindakan yang tidak spiritual, secara tak sadar kamu akan menemukan cara-cara untuk menghindari uang.

Ini benar! Bahkan Kitab Suci tidak pernah mengatakan bahwa uang itu jahat. Kecintaan terhadap uang, itulah yang jahat. Uang sendiri sifatnya netral, bisa kamu pakai untuk membenci ataupun mencintai, untuk membangun ataupun menghancurkan, tergantung caramu menggunakannya. Dengan kata lain, seperti kebanyakan hal lain di dunia, uang bisa membuatmu baik, dan bisa juga membuatmu jahat. Semuanya bergantung pada apakah kamu menaati atau melanggar hukum-hukum yang tertulis di alam semesta ini tentangnya.

Murnikan pemikiranmu terhadap uang dengan menyadari bahwa Tuhan menghendaki kita untuk memiliki materi supaya kita bisa hidup selayaknya seorang manusia, cukup untuk kebutuhan kita, dan lebih dari yang kita butuhkan supaya kita bisa berderma kepada orang lain.

Yakinlah bahwa Sang Pencipta ingin mencukupi kebutuhanmu. Yakinlah bahwa untuk itu Tuhan ingin dirimu bekerja dan bertanggung jawab atas keluargamu.

Selain itu, penting juga untuk melihat sikapmu terhadap mereka yang berpenghasilan bagus. Apakah kamu membenci mereka? Apakah kamu merasa bahwa mereka materialistis dan tidak spiritual? Apakah kamu curiga mereka menghalalkan berbagai cara untuk mendapatkan sejumlah uang yang mereka miliki? Jika kamu terus-terusan berpikir begitu, sama saja dengan kamu meyakinkan dirimu sendiri bahwa uang itu jahat, materialistis, dan hanya bisa didapatkan dengan cara-cara yang tidak halal.

Singkirkan pemikiran-pemikiran itu. Murnikan pemikiranmu terhadap uang.


Wednesday, May 23, 2012

Hasilkan Uang!

(Diterjemahkan asal-asalan dari buku SIMPLIFY And Live the Good Life karya Bo Sanchez)


Mungkin kamu bingung apa hubungannya post ini dengan hidup sederhana. Sepertinya ada sesuatu yang kontradiktif di sini.

Aku menerima ribuan surat dari para pembacaku, kebanyakan dari mereka mengungkapkan kebahagiaan yang mereka rasakan. Tapi beberapa sungguh menyedihkan. 

Kemarin, aku membaca sebuah surat dari seorang pria yang hidup miskin sepanjang hayatnya. Dia bahkan tidak bisa memikirkan bagaimana cara menghidupi keluarganya lebih lama daripada seminggu. Tentu saja dia punya pekerjaan, tapi mereka menggajinya terlalu rendah, sampai-sampai tidak cukup untuk menyekolahkan anak-anaknya. 

Aku membaca surat yang lain dari seorang wanita yang utangnya begitu banyak, sampai-sampai tagihan bulanannya dua kali lebih besar daripada uang yang dihasilkannya. Dan menurut dia, dia sudah hidup amat sangat sederhana! Tidak ada yang bisa disederhanakan lagi! Dia bilang, sudah bertahun-tahun dia tidak membeli pakaian baru, tidak lagi pergi ke bioskop kecuali ada yang mentraktirnya, dan telah menjual sebagian miliknya untuk hidup sehari-hari.

Perhatikanlah. Tidak memiliki cukup uang untuk kebutuhan sehari-hari bukanlah hidup sederhana. Itu namanya kemiskinan, dan kemiskinan memperumit hidup.

Bacalah pelan-pelan. Uang bukanlah segala-galanya, dan sangatlah keliru jika orang menganggap bahwa uang bisa menyelesaikan segala permasalahan mereka dan membuat hidup mereka bahagia. Tapi kita benar-benar perlu sejumlah uang supaya tetap hidup. Karena surat-surat seperti tadilah aku ingin membagikan sekarang enam prinsip utama dalam menghasilkan uang--tentu saja, menghasilkan uang tanpa membuat jiwamu kering....

Pada enam post berikutnya kita akan memahami enam prinsip utama dalam menghasilkan uang. Prinsip-prinsip itu adalah:

1. Murnikan pemikiranmu terhadap uang.
2. Murnikan motifmu dalam menghasilkan uang.
3. Terapkan Mentalitas Kelimpahan.
4. Percayalah pada kapasitasmu untuk menghasilkan uang.
5. Buatlah dirimu lebih berharga.
6. Temukan milikmu yang dibutuhkan oleh orang lain.

Simpelkan hidupmu. Hasilkan uang.

Saturday, May 12, 2012

Penumpang Yang Tak Terlupakan

Oleh Kent Nerburn


Lima belas tahun lalu, aku mencari nafkah sebagai seorang sopir taksi.

Aku menjalani kehidupan layaknya seorang koboi, kehidupan seorang pejudi, kehidupan seseorang yang tak mau diperintah-perintah atasan, selalu berpindah-pindah, dan penuh gairah ketika seorang penumpang baru memasuki taksi.

Yang sama sekali tak pernah kuperhitungkan adalah bahwa pekerjaan inilah yang akhirnya mengubah hidupku.

Karena aku bekerja pada shift malam, taksiku menjadi semacam kamar pengakuan berjalan. Penumpang-penumpang itu menyeruak masuk dan duduk di belakangku dengan anonimitas total kemudian mulai menceritakan kehidupan mereka.

Kami ini--aku dan penumpangku--seperti dua orang asing yang duduk di bangku kereta, meluncur melintasi malam, mengungkapkan kedekatan yang tak mungkin terbayangkan akan terkuak di tengah terang benderangnya hari. Aku berjumpa dengan orang-orang yang kehidupannya membuatku takjub, bersemangat, membuatku tertawa, dan menangis.

Tapi tak ada yang lebih menyentuhku daripada kehidupan seorang wanita tua yang aku jemput di tengah pekatnya suatu malam di bulan Agustus.

Aku memenuhi panggilan dari sebuah bangunan kecil berdinding bata yang terletak di suatu daerah sepi di kotaku. Aku pikir pasti aku disuruh menjemput beberapa pemabuk, atau seseorang yang habis bertengkar dengan pasangannya, atau seseorang yang berangkat bekerja shift awal ke sebuah pabrik di kawasan industri.

Ketika aku tiba di sana, bangunan itu gelap gulita. Satu-satunya sumber cahaya adalah nyala bola lampu yang nampak dari sebuah jendela di lantai dasar.

Dalam kondisi seperti ini, biasanya sopir taksi akan membunyikan klakson sekali atau dua kali, menunggu sebentar, lalu pergi. Terlalu banyak kemungkinan buruk yang bisa terjadi jika seorang sopir memutuskan untuk keluar dari taksinya dan mendatangi sebuah bangunan yang gelap gulita pada jam 2.30 malam.

Tapi aku sudah menyaksikan begitu banyak orang tak mampu yang bergantung pada taksi sebagai satu-satunya sarana transportasi mereka malam-malam begini.

Jadi kecuali jika aku benar-benar mencium adanya ancaman bahaya, aku selalu menghampiri pintu untuk menjemput penumpangku, karena bisa jadi dia membutuhkan bantuanku. Tidakkah aku juga menginginkan seorang sopir taksi melakukan hal yang sama kepada ibu atau ayahku dalam situasi seperti ini?

Maka aku berjalan ke pintu rumah itu dan mengetuknya.

"Tunggu sebentar," sebuah suara yang lemah dan renta menjawab ketukanku. Sesaat kemudian kudengar sesuatu sedang diseret di atas lantai.

Setelah agak lama, pintu pun terbuka. Seorang wanita mungil berusia 80 tahunan berdiri di hadapanku. Dia mengenakan baju cita dan topi kecil berbentuk peci dengan kerudung yang menutupi sedikit mukanya, seperti wanita-wanita yang kaulihat di film-film tahun 1940-an. Di sebelahnya terlihat sebuah koper kecil dari bahan nilon. Bunyi yang kudengar tadi pasti gesekan koper itu dengan lantai saat dia sedang menyeretnya.

Apartemen itu sendiri tampak seperti sudah lama tak didiami. Seluruh perabotannya ditutupi kain. Tidak ada jam dinding. Tidak ada pernak-pernik atau perkakas apa pun di atas meja pajangan. Di pojok ruangan ada sebuah kardus karton yang penuh dengan foto-foto dan barang pecah belah.

"Tolong bawakan koperku ke mobil, ya," pintanya. "Aku ingin ditinggal sejenak sendirian di sini. Lalu kalau kau bersedia, tolong kembalilah dan bantu aku berjalan. Aku tidak terlalu kuat sekarang."

Aku membawa kopernya ke mobil, lalu kembali untuk menjemputnya. Dia menggandeng lenganku, lalu kami berjalan perlahan-lahan ke trotoar, sambil tak henti-hentinya dia mengucapkan terima kasih padaku.

"Tidak apa-apa, Bu," kataku. "Saya cuma berusaha memperlakukan para penumpang saya sebagaimana saya ingin ibu saya diperlakukan."

"Oh, kau benar-benar anak yang baik," ujarnya. Pujian dan penghargaannya hampir-hampir membuatku malu.

Saat kami sudah berada di dalam taksi, dia memberiku sebuah alamat, lalu berkata, "Bisa lewat tengah kota?"

"Itu bukan rute terpendek, Bu," jawabku.

"Tidak masalah. Aku juga tidak terburu-buru," ujarnya. "Aku toh sedang menuju rumah peristirahatanku."

Aku memandang kaca spionku. Matanya berkaca-kaca.

"Aku tak punya keluarga lagi," lanjutnya. "Dokter bilang aku harus tinggal di sana. Katanya, waktuku sudah tidak lama lagi."

Diam-diam aku meraih dan mematikan argometer. "Ibu ingin saya antar lewat mana?" tanyaku.

Maka selama dua jam berikutnya, kami berjalan mengelilingi kota. Dia menunjukkan padaku gedung tempatnya dulu bekerja sebagai operator lift. Kami pergi ke daerah tempat dia dan suaminya tinggal ketika mereka baru saja menikah. Dia memintaku berhenti di depan sebuah gudang mebel yang dulu adalah ballroom tempatnya pergi berdansa ketika masih gadis. Kadang-kadang dia memintaku untuk memperlambat laju kendaraan di depan bangunan-bangunan tertentu dan dia hanya duduk menatap dalam kegelapan, tanpa kata-kata.

Ketika cercah pertama cahaya matahari mulai menerangi langit, tiba-tiba dia berkata, "Aku lelah. Ayo kita pergi sekarang."

Kami pun pergi ke alamat yang sudah diberikannya padaku. Sebuah bangunan rendah, semacam tempat peristirahatan untuk orang-orang yang sedang dalam proses pemulihan setelah sakit, dengan jalan masuk mobil melewati pintu depan dengan pelataran yang berpilar. Dua orang perawat menghampiri taksi begitu kami berhenti. Tanpa menungguku, mereka membuka pintu dan mulai membantu wanita itu. Mereka terlihat cemas dan teliti, mencermati setiap gerakannya. Pasti mereka telah menunggunya, mungkin dia sudah menelepon mereka sebelum kami berangkat.

Aku membuka bagasi dan membawa koper kecil itu ke depan pintu. Wanita itu telah didudukkan di sebuah kursi roda.

"Jadi berapa ongkos taksinya?" tanyanya sambil mengambil dompetnya.

"Tidak usah, Bu," jawabku.

"Tapi itu mata pencaharianmu," desaknya.

"Masih ada penumpang-penumpang yang lain, Bu," jawabku lagi.

Hampir tanpa berpikir, aku membungkuk dan memeluknya. Dia pun mendekapku erat-erat.

"Kau baru saja memberikan sebentuk kebahagiaan kepada seorang wanita tua," katanya. "Terima kasih, Nak."

Tak ada lagi yang bisa terucapkan.

Aku meremas tangannya sekali lagi, lalu berjalan keluar di keremangan pagi. Di belakangku, aku bisa mendengar bunyi pintu ditutup. Bunyi sebuah kehidupan tengah ditutup.

Aku tidak mengambil penumpang lagi pada shift itu. Aku mengemudi tanpa tujuan, tenggelam dalam pikiranku. Sepanjang hari itu, aku hampir-hampir tak bisa bicara.

Bagaimana seandainya wanita itu mendapatkan sopir taksi yang pemarah, yang tak sabar untuk cepat-cepat menyelesaikan shift-nya? Bagaimana bila aku memutuskan untuk tidak menjemputnya, atau cuma mengklakson sekali, lalu pergi? Bagaimana jika suasana hatiku sedang buruk dan menolak untuk diajaknya mengobrol?

Berapa banyakkah saat-saat seperti ini telah kuabaikan atau gagal kupahami sepanjang hidupku?

Kita selalu berpikir bahwa kehidupan kita bergulir dari satu momen besar ke momen besar lainnya. Namun momen-momen besar itu seringkali muncul pada saat yang paling tidak kita duga.

Saat wanita itu mendekapku erat-erat dan berkata bahwa aku telah memberinya sebentuk kebahagiaan, aku percaya bahwa aku dihadirkan di dunia ini untuk satu tujuan mengantarkannya melakukan perjalanan terakhirnya.

Aku tidak yakin pernah melakukan sesuatu yang lebih penting dalam hidupku.


Diterjemahkan asal jadi dari judul asli: The Cab Ride I'll Never Forget
Diadaptasi dari buku Make Me An Instrument of Your Peace