Saturday, May 12, 2012

Penumpang Yang Tak Terlupakan

Oleh Kent Nerburn


Lima belas tahun lalu, aku mencari nafkah sebagai seorang sopir taksi.

Aku menjalani kehidupan layaknya seorang koboi, kehidupan seorang pejudi, kehidupan seseorang yang tak mau diperintah-perintah atasan, selalu berpindah-pindah, dan penuh gairah ketika seorang penumpang baru memasuki taksi.

Yang sama sekali tak pernah kuperhitungkan adalah bahwa pekerjaan inilah yang akhirnya mengubah hidupku.

Karena aku bekerja pada shift malam, taksiku menjadi semacam kamar pengakuan berjalan. Penumpang-penumpang itu menyeruak masuk dan duduk di belakangku dengan anonimitas total kemudian mulai menceritakan kehidupan mereka.

Kami ini--aku dan penumpangku--seperti dua orang asing yang duduk di bangku kereta, meluncur melintasi malam, mengungkapkan kedekatan yang tak mungkin terbayangkan akan terkuak di tengah terang benderangnya hari. Aku berjumpa dengan orang-orang yang kehidupannya membuatku takjub, bersemangat, membuatku tertawa, dan menangis.

Tapi tak ada yang lebih menyentuhku daripada kehidupan seorang wanita tua yang aku jemput di tengah pekatnya suatu malam di bulan Agustus.

Aku memenuhi panggilan dari sebuah bangunan kecil berdinding bata yang terletak di suatu daerah sepi di kotaku. Aku pikir pasti aku disuruh menjemput beberapa pemabuk, atau seseorang yang habis bertengkar dengan pasangannya, atau seseorang yang berangkat bekerja shift awal ke sebuah pabrik di kawasan industri.

Ketika aku tiba di sana, bangunan itu gelap gulita. Satu-satunya sumber cahaya adalah nyala bola lampu yang nampak dari sebuah jendela di lantai dasar.

Dalam kondisi seperti ini, biasanya sopir taksi akan membunyikan klakson sekali atau dua kali, menunggu sebentar, lalu pergi. Terlalu banyak kemungkinan buruk yang bisa terjadi jika seorang sopir memutuskan untuk keluar dari taksinya dan mendatangi sebuah bangunan yang gelap gulita pada jam 2.30 malam.

Tapi aku sudah menyaksikan begitu banyak orang tak mampu yang bergantung pada taksi sebagai satu-satunya sarana transportasi mereka malam-malam begini.

Jadi kecuali jika aku benar-benar mencium adanya ancaman bahaya, aku selalu menghampiri pintu untuk menjemput penumpangku, karena bisa jadi dia membutuhkan bantuanku. Tidakkah aku juga menginginkan seorang sopir taksi melakukan hal yang sama kepada ibu atau ayahku dalam situasi seperti ini?

Maka aku berjalan ke pintu rumah itu dan mengetuknya.

"Tunggu sebentar," sebuah suara yang lemah dan renta menjawab ketukanku. Sesaat kemudian kudengar sesuatu sedang diseret di atas lantai.

Setelah agak lama, pintu pun terbuka. Seorang wanita mungil berusia 80 tahunan berdiri di hadapanku. Dia mengenakan baju cita dan topi kecil berbentuk peci dengan kerudung yang menutupi sedikit mukanya, seperti wanita-wanita yang kaulihat di film-film tahun 1940-an. Di sebelahnya terlihat sebuah koper kecil dari bahan nilon. Bunyi yang kudengar tadi pasti gesekan koper itu dengan lantai saat dia sedang menyeretnya.

Apartemen itu sendiri tampak seperti sudah lama tak didiami. Seluruh perabotannya ditutupi kain. Tidak ada jam dinding. Tidak ada pernak-pernik atau perkakas apa pun di atas meja pajangan. Di pojok ruangan ada sebuah kardus karton yang penuh dengan foto-foto dan barang pecah belah.

"Tolong bawakan koperku ke mobil, ya," pintanya. "Aku ingin ditinggal sejenak sendirian di sini. Lalu kalau kau bersedia, tolong kembalilah dan bantu aku berjalan. Aku tidak terlalu kuat sekarang."

Aku membawa kopernya ke mobil, lalu kembali untuk menjemputnya. Dia menggandeng lenganku, lalu kami berjalan perlahan-lahan ke trotoar, sambil tak henti-hentinya dia mengucapkan terima kasih padaku.

"Tidak apa-apa, Bu," kataku. "Saya cuma berusaha memperlakukan para penumpang saya sebagaimana saya ingin ibu saya diperlakukan."

"Oh, kau benar-benar anak yang baik," ujarnya. Pujian dan penghargaannya hampir-hampir membuatku malu.

Saat kami sudah berada di dalam taksi, dia memberiku sebuah alamat, lalu berkata, "Bisa lewat tengah kota?"

"Itu bukan rute terpendek, Bu," jawabku.

"Tidak masalah. Aku juga tidak terburu-buru," ujarnya. "Aku toh sedang menuju rumah peristirahatanku."

Aku memandang kaca spionku. Matanya berkaca-kaca.

"Aku tak punya keluarga lagi," lanjutnya. "Dokter bilang aku harus tinggal di sana. Katanya, waktuku sudah tidak lama lagi."

Diam-diam aku meraih dan mematikan argometer. "Ibu ingin saya antar lewat mana?" tanyaku.

Maka selama dua jam berikutnya, kami berjalan mengelilingi kota. Dia menunjukkan padaku gedung tempatnya dulu bekerja sebagai operator lift. Kami pergi ke daerah tempat dia dan suaminya tinggal ketika mereka baru saja menikah. Dia memintaku berhenti di depan sebuah gudang mebel yang dulu adalah ballroom tempatnya pergi berdansa ketika masih gadis. Kadang-kadang dia memintaku untuk memperlambat laju kendaraan di depan bangunan-bangunan tertentu dan dia hanya duduk menatap dalam kegelapan, tanpa kata-kata.

Ketika cercah pertama cahaya matahari mulai menerangi langit, tiba-tiba dia berkata, "Aku lelah. Ayo kita pergi sekarang."

Kami pun pergi ke alamat yang sudah diberikannya padaku. Sebuah bangunan rendah, semacam tempat peristirahatan untuk orang-orang yang sedang dalam proses pemulihan setelah sakit, dengan jalan masuk mobil melewati pintu depan dengan pelataran yang berpilar. Dua orang perawat menghampiri taksi begitu kami berhenti. Tanpa menungguku, mereka membuka pintu dan mulai membantu wanita itu. Mereka terlihat cemas dan teliti, mencermati setiap gerakannya. Pasti mereka telah menunggunya, mungkin dia sudah menelepon mereka sebelum kami berangkat.

Aku membuka bagasi dan membawa koper kecil itu ke depan pintu. Wanita itu telah didudukkan di sebuah kursi roda.

"Jadi berapa ongkos taksinya?" tanyanya sambil mengambil dompetnya.

"Tidak usah, Bu," jawabku.

"Tapi itu mata pencaharianmu," desaknya.

"Masih ada penumpang-penumpang yang lain, Bu," jawabku lagi.

Hampir tanpa berpikir, aku membungkuk dan memeluknya. Dia pun mendekapku erat-erat.

"Kau baru saja memberikan sebentuk kebahagiaan kepada seorang wanita tua," katanya. "Terima kasih, Nak."

Tak ada lagi yang bisa terucapkan.

Aku meremas tangannya sekali lagi, lalu berjalan keluar di keremangan pagi. Di belakangku, aku bisa mendengar bunyi pintu ditutup. Bunyi sebuah kehidupan tengah ditutup.

Aku tidak mengambil penumpang lagi pada shift itu. Aku mengemudi tanpa tujuan, tenggelam dalam pikiranku. Sepanjang hari itu, aku hampir-hampir tak bisa bicara.

Bagaimana seandainya wanita itu mendapatkan sopir taksi yang pemarah, yang tak sabar untuk cepat-cepat menyelesaikan shift-nya? Bagaimana bila aku memutuskan untuk tidak menjemputnya, atau cuma mengklakson sekali, lalu pergi? Bagaimana jika suasana hatiku sedang buruk dan menolak untuk diajaknya mengobrol?

Berapa banyakkah saat-saat seperti ini telah kuabaikan atau gagal kupahami sepanjang hidupku?

Kita selalu berpikir bahwa kehidupan kita bergulir dari satu momen besar ke momen besar lainnya. Namun momen-momen besar itu seringkali muncul pada saat yang paling tidak kita duga.

Saat wanita itu mendekapku erat-erat dan berkata bahwa aku telah memberinya sebentuk kebahagiaan, aku percaya bahwa aku dihadirkan di dunia ini untuk satu tujuan mengantarkannya melakukan perjalanan terakhirnya.

Aku tidak yakin pernah melakukan sesuatu yang lebih penting dalam hidupku.


Diterjemahkan asal jadi dari judul asli: The Cab Ride I'll Never Forget
Diadaptasi dari buku Make Me An Instrument of Your Peace


No comments:

Post a Comment