Monday, March 26, 2012

Berilah Sebanyak Mungkin!


Pengalamanku mengajarkan bahwa semakin sedikit aku menghabiskan uang untuk diriku sendiri, dan semakin banyak aku memberi kepada orang lain, semakin penuh pula kebahagiaan dan berkat yang dirasakan oleh jiwaku. --Hudson Taylor


Bertahun-tahun yang lalu, aku membaca tulisan di stiker mobil: Live simply so that others may simply live. Kurang lebih artinya: hiduplah sederhana supaya bisa menghidupkan orang lain. Alasannya masuk akal. Jika aku bisa memuaskan diriku dengan kemeja biasa seharga Rp 65.000,-, ketimbang Lacoste seharga Rp 750.000,-, berarti aku bisa menggunakan Rp 685.000,- untuk membantu orang lain.

Percayalah, ada kebahagiaan yang teramat sangat dalam di sana! 

Kamu akan mendapati bahwa kegembiraanmu memandangi cincin berlian yang berkilau-kilau di jarimu sungguh tak sebanding dengan kebahagiaanmu memberikan sepotong roti pada seorang anak yatim piatu. 

Aku tidak bisa menjelaskan secara hal ini secara logis, karena memberi dan menerima berkah yang berlimpah ruah adalah sebuah aktivitas adikodrati. Dari pengalamanku, semakin banyak aku memberi, semakin banyak pula aku menerima. Memang begitulah adanya!

Bagaimanapun juga, aku tidak memberi supaya aku menerima imbalannya. Ini penting. Aku memberi karena aku percaya bahwa memberi itu baik.

Semua keyakinan di dunia mengajarkan kita untuk beramal. Bahkan kita ditantang untuk beramal dengan suka rela dan hati gembira! Logikanya, semakin hati kita bergembira dalam beramal, semakin besar juga jumlah yang kita amalkan.

Jadi, jadikanlah memberi dan beramal sebuah kebiasaan. Berilah sebanyak mungkin.



(Bab Kesembilan dari buku SIMPLIFY And Live the Good Life karya Bo Sanchez)

Sunday, March 25, 2012

Pengadilan Terakhir Nahum (Sebuah Kisah Hassidi)

Paulo Coelho adalah penulis favorit saya. Blognya ternyata juga inspiratif seperti buku-bukunya. Cerita di bawah ini saya ambil dari blognya, sebuah cerita dengan pesan moral: hidup yang simpel itu adalah menjadi diri sendiri.



Nahum dari Bratslavia berkata,

"Jika aku menghadap Pengadilan Terakhir di surga dan ditanya, 'Mengapa kau tidak memimpin umatmu seperti Musa?', aku tidak akan gentar.

"Jika aku ditanya, 'Mengapa kau bukan Daud, yang begitu tekun memuja-Ku dan menggembalakan umatnya?', aku akan tetap tenang.

"Juga jika aku ditanya, 'Mengapa kau tidak hidup sebagai Elia, sang pewarta kebenaran dan pembela keadilan?', aku tidak akan takut.

"Ah, namun seandainya aku ditanya, 'Nahum, mengapa kau tidak hidup sebagai Nahum?'
Saat itulah tubuhku bergetar dari ujung kepala sampai ke ujung kaki!"



Judul asli: 10 Sec Reading: A Hassidic Story

Friday, March 23, 2012

Satu Per Satu

Cerita ini dikisahkan kepada saya oleh seorang rekan seperjuangan semasa Reformasi 1998. Saat sebagian rekan merasa percuma melakukan sesuatu untuk negeri ini dengan kekuatannya sendiri, dia membuka mata kami bahwa sekecil apa pun yang kita lakukan tidak akan pernah sia-sia, karena setidaknya "kita sudah membuat perubahan untuk yang satu ini".

Bukankah seringkali kita juga berhenti melakukan sesuatu yang baik hanya karena kita tidak melihat dampaknya secara nyata?


Seorang teman sedang berjalan-jalan di sebuah pantai Meksiko yang terpencil. Saat tengah berjalan, dilihatnya seorang pria di kejauhan. Begitu mendekat, diperhatikannya pria pribumi itu selalu membungkukkan badannya, mengambil sesuatu dari pasir, lalu melemparkannya ke laut. Berulang-ulang dia melakukan hal itu.

Ketika lebih mendekat lagi, teman kami memperhatikan bahwa pria itu memunguti bintang laut yang berserakan di pantai, lalu melemparkan mereka satu per satu kembali ke air.

Teman kami merasa heran. Dia pun menghampiri pria itu dan menyapa, "Selamat sore, Kawan. Aku penasaran terhadap apa yang sedang kaulakukan."

"Aku melemparkan bintang laut-bintang laut ini kembali ke air. Lihatlah, saat ini laut sedang surut, dan semua bintang laut ini terdampar di pantai. Jika aku tidak melemparkan mereka kembali ke laut, mereka akan mati karena kekurangan oksigen."

"Aku mengerti," kata teman kami. "Tapi pasti ada ribuan bintang laut yang terdampar di pantai ini. Kau tidak mungkin berhasil menyelamatkan mereka semuanya. Mereka terlalu banyak. Dan tidak pernahkah kau berpikir bahwa laut juga sedang surut di ratusan pantai lain di sepanjang garis pantai ini? Tidak sadarkah dirimu bahwa kau tidak mungkin membuat perubahan?"

Pria pribumi itu tersenyum, membungkukkan badan, dan tetap memungut seekor bintang laut lagi dari pasir. Kemudian, sambil melemparkan bintang laut itu ke air, dia berkata, "Aku sudah membuat perubahan untuk yang satu ini."


Judul asli: One at a Time
Oleh Jack Canfield dan Mark V. Hansen
Dari Chicken Soup for The Soul
Gambar dari Google

Thursday, March 22, 2012

Soda di Jok Belakang

Sebuah tulisan Randy Pausch yang mengajarkan kepada saya bahwa bagaimanapun manusia lebih penting daripada harta benda....


Selama kurun waktu yang cukup lama, aku dikenal semua orang sebagai seorang "paman bujangan". Saat berusia dua puluhan hingga tiga puluhan, aku tidak mempunyai anak, dan dua anak adikku, Chris dan Laura, menjadi objek kasih sayangku. Aku senang menjadi Uncle Randy, pria yang selalu muncul dalam kehidupan mereka sekitar sebulan sekali untuk mengajak mereka memandang dunia dari sudut yang baru dan asing bagi mereka.

Bukannya aku memanjakan mereka. Aku cuma mencoba memberitahukan perspektifku terhadap kehidupan. Ini yang kadang-kadang membuat adikku gila.

Suatu kali, belasan tahun yang lalu, saat Chris masih berusia tujuh tahun dan Laura sembilan, aku menjemput mereka dengan Volkswagen Cabrio convertible-ku yang baru. "Hati-hati dengan mobil baru Uncle Randy," perintah adikku kepada mereka. "Usap-usap dulu kaki kalian sebelum masuk. Jangan bikin berantakan. Jangan bikin kotor di dalam mobil!"

Aku mendengarkannya berbicara, dan berpikir, dengan cara yang cuma dipahami oleh seorang paman bujangan, "Perintah-perintah itu cuma membuat anak-anak merasa bersalah jika mereka tak sengaja melanggarnya. Tentu saja mereka bakalan mengotori mobilku. Kan memang begitu anak-anak." 

Maka, aku membuat segalanya mudah. 

Sementara adikku terus nyerocos dengan daftar aturannya, pelan-pelan aku membuka sekaleng soda, membalikkannya, dan menumpahkan isinya ke jok belakang convertible-ku. Pesan yang ingin aku sampaikan: manusia lebih penting daripada barang. Sebuah mobil, betapa pun berharganya bagai batu permata seperti convertible baruku, tetap saja cuma sebuah barang.

Saat aku menumpahkan Coke itu, aku memandang Chris dan Laura. Mulut mereka ternganga, mata mereka terbelalak! Ini dia, Uncle Randy yang gila, mematahkan aturan-aturan orang dewasa!!!

Akhirnya aku pun merasa begitu gembira telah menumpahkan soda itu, sebab belakangan di akhir pekan itu, Chris kecil terkena flu dan muntah di jok belakang. Dia tidak merasa bersalah. Dia merasa lega dan aman; dia toh sudah melihat Uncle Randy membaptis mobilnya. Dia tahu bahwa dia tidak melakukan sesuatu yang menjadi masalah besar.

Kapan pun anak-anak itu bersamaku, kami cuma punya dua aturan:

1> Tidak boleh merengek.
2> Apa pun yang kita lakukan bersama, jangan bilang Mom.

Tidak bilang Mom membuat segala yang kami lakukan menjelma menjadi sebuah petualangan bajak laut yang mengasyikkan. Bahkan hal-hal yang biasa terasa ajaib bagi kami.

Hampir setiap akhir pekan, Chris dan Laura melewatkan waktu mereka di apartemenku, dan aku akan membawa mereka ke Chuck E. Cheese, atau kami akan berjalan-jalan bersama, atau mengunjungi museum. Pada akhir pekan tertentu, kami biasa menginap di sebuah hotel--yang ada kolam renangnya!

Kami bertiga suka sekali membuat kue dadar bersama-sama. Ayahku dulu selalu bilang, "Siapa bilang kue dadar harus selalu bundar?" Dan aku mengatakan hal yang sama kepada mereka. Maka, kami selalu membuat kue dadar berbentuk binatang-binatang aneh. Ada banyak kesalahan yang kami buat dalam membentuk binatang dengan adonan kue dadar itu, tapi aku menyukainya, karena setiap kue dadar binatang yang kami buat adalah sebuah tes Rorschach yang tak disengaja. Chris dan Laura akan selalu berseru, "Bukan begini bentuk binatang yang aku inginkan!" Namun itu membuat kami memandang kue dadar itu sebagaimana adanya, dan berimajinasi kira-kira binatang apa yang sudah kami bentuk.

Aku telah melihat Laura dan Chris tumbuh menjadi anak muda yang menakjubkan. Laura sudah dua puluh satu tahun dan Chris sembilan belas. Saat ini, aku merasa lebih bersyukur daripada yang sudah-sudah bahwa aku telah menjadi bagian dari masa kecil mereka, karena aku mulai menyadari sesuatu. Sepertinya aku tidak akan menjadi seorang ayah untuk anak yang berusia lebih dari sembilan tahun. Jadi saat-saatku bersama Chris dan Laura terasa semakin berharga. Mereka memberiku hadiah berupa keberadaanku bersama mereka melalui masa kecil mereka sampai usia belasan tahun, dan bahkan hingga memasuki usia dewasa.

Baru-baru ini, aku meminta Chris dan Laura untuk melakukan sesuatu buatku. Setelah aku meninggal, aku ingin mereka mengajak anak-anakku ke sana sini, dan melakukan banyak hal, apa pun yang mereka pikir akan menyenangkan untuk dilakukan. Mereka tidak perlu melakukan hal-hal yang sama dengan yang pernah kami lakukan. Mereka bisa membiarkan anak-anakku yang mengambil keputusan. Dylan suka dinosaurus. Mungkin Chris dan Laura bisa mengajaknya ke sebuah museum sejarah alam. Logan suka olah raga. Mungkin mereka bisa mengajaknya menonton Steelers bertanding. Dan Chloe suka menari. Mereka akan menemukan ide yang mengasyikkan untuknya.

Aku juga ingin kedua keponakanku bercerita kepada anak-anakku tentang beberapa hal. Pertama, mereka bisa mengatakan dengan singkat, "Ayahmu ingin kami melewatkan waktu bersama-sama dengan kalian, seperti dia telah melakukannya bersama kami." Aku berharap mereka juga akan menjelaskan kepada anak-anakku tentang betapa kerasnya aku berjuang untuk tetap hidup. Aku menyediakan diriku untuk menjalani pengobatan-pengobatan yang paling menyakitkan yang bisa dilakukan terhadapku, karena aku ingin bisa melewatkan waktu selama mungkin bersama-sama dengan anak-anakku. Itulah pesan yang ingin aku sampaikan lewat Laura dan Chris.

Oh... dan satu hal lagi. Jika anak-anakku bikin mobil mereka berantakan, aku harap Chris dan Laura akan mengingatku. Dan tersenyum....


Tentang Randy Pausch
Randy Pausch adalah seorang profesor Ilmu Komputer, Interaksi Komputer-Manusia, dan Desain dari Universitas Carnegie Mellon. Pernah mengajar di Universitas Virginia selama 1988-1997, dia merupakan dosen dan peneliti peraih penghargaan, dan telah bekerja bersama Adobe, Google, Electronic Arts (EA), dan Walt Disney Imagineering, serta merintis proyek Alice. Pada tahun 2007 dia didiagnosis mengidap kanker yang mematikan, namun malah menginspirasi seluruh dunia dengan kuliahnya, yang kemudian dikenal sebagai The Last Lecture: Really Achieving Your Childhood Dreams, di mana dia berbicara banyak tentang kehidupan justru di saat maut bisa menjemputnya kapan saja. Dia meninggal dunia pada Juli 2008. Pouring Soda in the Backseat merupakan salah satu dari banyak inspirasi yang diwariskannya dalam bukunya.


Glosarium:
Tes Rorschach, biasa dikenal pula dengan tes noda tinta Rorschach atau hanya tes noda tinta, adalah suatu tes psikologi di mana persepsi subjek tes terhadap suatu noda tinta tertentu akan direkam dan dianalisa menggunakan interpretasi psikologis, algoritma-algoritma kompleks yang diturunkan secara ilmiah, atau keduanya.

Steelers adalah tim profesional sepak bola Amerika asal Pittsburgh, Pennsylvania.

Tuesday, March 20, 2012

"SOS! Aku Kecanduan Kredit!!!"

Bab Kedelapan dari buku SIMPLIFY And Live the Good Life karya Bo Sanchez.


Aku berutang, aku berutang, makanya aku membanting tulang.—Anonim


Mary Hunt mengisahkan kesengsaraan hidupnya sebagai pecandu kredit dalam bukunya The Financially Confident Woman. Dia seorang pengangguran dan terjebak utang sebesar USD 100.000, saat akhirnya sadar bahwa dia harus memilih antara membatalkan semua kartu kreditnya, atau dia akan menghadapi kehancuran finansial. Berkat keteguhan hati, dia berhasil melewati cobaan hidupnya dan saat ini telah menjadi wanita yang percaya diri secara finansial.

Di bawah ini adalah checklist dia tentang apa yang aku sebut sebagai kecanduan kredit. Periksalah apakah ada di antara keterangan di bawah ini yang sesuai dengan dirimu.

o   Aku selalu berada dekat pada pagu (limit) dari kartu kreditku.
o   Aku seringkali menggunakan penghasilanku bulan ini untuk membayar tagihan bulan lalu.
o   Hidup tanpa kredit adalah hidup yang tidak mungkin dijalani.
o   Aku sangat khawatir tentang uang.
o   Aku tidak mempunyai program menabung yang terencana.
o   Aku berbohong pada pasangan ataupun kreditorku tentang pembayaran tagihan.
o   Aku tahu seharusnya aku beramal, tapi saat ini aku tidak punya cukup uang untuk itu.
o   Aku mengambil cash advance (pengambilan dana tunai) dari satu kartu kredit untuk membayar tagihan kartu kredit yang lain.

Jika kamu mencentang beberapa atau semua item di atas, carilah bantuan, segera!!! Mintalah seorang teman untuk mendisiplinkanmu, membantumu menggunting kartu kreditmu, dan mendukung dalam keputusanmu untuk serius menghindari utang.

Carilah bantuan jika kamu kecanduan kredit. Segera!

Sunday, March 18, 2012

Ternyata, Orang Bahagia Hidupnya Nggak Enak Juga!

Satu lagi tulisan Jason Billows dari blognya Stop and Breathe tentang hidup simpel dan bahagia. Semoga bisa dinikmati.




 "Jika kamu pengen bahagia, ya bahagia saja!" (Leo Tolstoy)


Kamu kenal nggak sama orang yang selalu bahagia? Bukan orang yang selalu tersenyum setiap kali kalian berjabat tangan, ya. Tapi orang-orang yang benar-benar bahagia dan menikmati hidup. Aku salah satu dari orang-orang itu.


Tapi tahu nggak? Orang bahagia hidupnya nggak enak juga. Sama nggak enaknya sama orang-orang lain. 


Hal-hal buruk terjadi pada diri kami. Orang-orang sering menguji kesabaran kami. Kami kena musibah juga. Pasangan kami kadang-kadang bertingkah. Kami jatuh sakit. Boss kami menuntut terlalu banyak dan memberi terlalu sedikit. Kami gagal dan frustrasi. Kami mengalami segala hal menyebalkan yang bisa terjadi pada semua orang sehari-hari.


Bahkan, kadang-kadang hidup orang bahagia itu lebih nggak enak dibandingkan dengan yang lainnya. Aku, misalnya, pernah mengalami proses perceraian yang memilukan hati, menjalani operasi sumsum tulang belakang, nggak bisa kerja, nggak punya rumah sendiri, dan harus mengatasi kecanduan obat--semuanya pada saat yang sama... dan, guess what? Aku masih happy!


Jadi jika ada yang bilang, "Pantesan dia bahagia. Hidupnya enak terus!", jangan percaya. Itu cuma mitos.  Seperti yang sering kamu dengar dan baca, sebenarnya kebahagiaan itu adalah sebuah pilihan. Benar memang, kebahagiaan itu dipengaruhi oleh banyak faktor, mulai dari genetika, cara kamu dibesarkan, lingkungan sekitar tempatmu bergaul, tapi faktor utama penentu kebahagiaanmu adalah keputusanmu sendiri untuk memilih merasa bahagia.


Kalau kamu pengen bahagia, ya putuskan untuk berbahagia.


Dan ini dia 10 kiat untuk membuat hidupmu lebih bahagia:


1. Bersyukurlah. Fokusmu menentukan kenyataan hidupmu. Kalau kamu memfokuskan diri cuma pada apa yang kamu nggak punya, kamu bakalan merasa sengsara dan serba-kekurangan. Mendingan kamu terus mengingatkan pada diri sendiri tentang milikmu yang patut kamu syukuri: kesehatanmu, tempat tinggalmu, pekerjaanmu, keluarga dan teman-temanmu. Kadang-kadang memang kamu harus berhadapan dengan berbagai permasalahan hidup, tapi cobalah untuk selalu melihat hikmah di balik setiap peristiwa. Selalu ada hal-hal positif yang bisa kamu pelajari dan alami dari setiap hal yang terjadi dalam hidupmu. Bersyukurlah atas apa yang kamu miliki, dan ingatlah bahwa biarpun sesuatu itu menurutmu sederhana dan sering kamu abaikan, bisa jadi buat orang lain adalah sebuah hal yang istimewa. Jadi, ayo kembali belajar matematika: hitunglah berkatmu!


2. Nikmatilah hal-hal kecil. Jangan menunda kebahagiaan dengan menunggu tibanya momen-momen besar yang pantas dirayakan. Temukan kebahagiaan dalam hal-hal kecil. Tersenyumlah pada anak-anak yang sedang bermain-main di taman. Berterimakasihlah pada orang asing yang menahan pintu untukmu. Kagumilah keindahan sebatang pohon yang tertiup angin semilir. Ada begitu banyak potensi pemicu kebahagiaan di sekelilingmu. Nikmatilah hal-hal kecil itu, dan kebahagiaanmu akan terus bertambah.


3. Lingkupi dirimu dengan orang-orang bahagia. Orang-orang saling mempengaruhi perasaan satu sama lain. Habiskan waktu bersama orang yang merasa dirinya sengsara, dan nggak perlu lama-lama, kamu pasti akan merasa hidupmu sengsara juga. Sebaliknya bergaullah dengan orang-orang bahagia, dan kamu akan terus diingatkan bahwa hidup ini indah. Kebahagiaan itu menular.


4. Jalani hidupmu saat demi saat. Banyak orang merencanakan kebahagiaan mereka, tapi melupakan saat ini. Mereka bilang, mereka akan bahagia nanti jika akhir pekan datang, kalau cuaca cerah, jika mereka pergi liburan, atau bila mereka pensiun. Ngapain menunda-nunda kebahagiaan? Fokuskan diri pada setiap saat yang kamu jalani dalam hidup, dan nikmati setiap kebahagiaan yang ditawarkan padamu.


5. Berbagilah. Aku nggak percaya bahwa kita bisa benar-benar bahagia jika kita sendirian. Salah satu kebahagiaan hidup yang terbesar adalah berbagi bersama orang lain. Luangkan waktu bersama dengan keluarga atau teman, tapi jangan cuma ngumpul-ngumpul saja. Berbagilah. Bagikan perasaan-perasaanmu, bermainlah bersama-sama, dan dukunglah satu sama lain. Kamu orang baru di kotamu, dan nggak punya teman atau kerabat yang tinggalnya berdekatan? Join aja sebuah klub, atau ikuti sebuah kursus. Ambillah tindakan. Jangan cuma berdiam menunggu.


6. Jagalah dirimu sendiri. Susah untuk hidup bahagia kalau kamu kecapekan, kurang tenaga, atau sakit-sakitan. Kesehatan jiwa dan ragamu berhubungan langsung dengan caramu memperlakukan tubuhmu sendiri. Tidurlah cukup. Berolahragalah secara rutin. Jadikan makan makanan sehat sebagai prioritasmu. Lakukan meditasi.


7. Simpelkan. Sadar nggak sih, kita ini terus-terusan dibombardir oleh iklan-iklan yang berusaha meyakinkan diri kita bahwa kita ini perlu sesuatu yang lebih besar, lebih bagus, dan lebih banyak supaya bisa bahagia? Kenyataannya justru sebaliknya. Seringkali kelebihan material semacam ini menjadi penyebab stres dan menggerogoti kebahagiaan kita. Cobalah pandang hidup ini lebih simpel, lebih minimalis. Fokuskan diri lebih kepada sesama dan pengalaman untuk memperkaya diri kita--dan bukan harta benda.


8. Berhentilah sejenak dan aturlah napas. Stres bisa dengan begitu mudahnya merampas kebahagiaan kita. Kadang-kadang dia datang terang-terangan seperti berondongan peluru, kadang-kadang dia menyelinap dan menggerogoti kita tanpa kita sadari. Secara rutin, berhentilah sejenak, dan aturlah napas. Ini akan membantumu lebih rileks, menjaga perspektifmu, dan membuatmu tetap berfokus pada hal-hal positif.


9. Rangkullah perubahan. Perubahan bisa membuat banyak orang tertekan, karena munculnya tak terduga dan selalu menarik orang untuk keluar dari kawasan nyamannya. Tapi perubahan adalah hal yang tak terhindarkan dan terjadi setiap hari. Ketimbang hidup dalam ketakutan akan kedatangannya, mari kita rangkul saja dia. Mari belajar menghargai kehebohan dan kesempatan yang dibawanya. Toh perubahan akan selalu terjadi, mau kamu suka atau tidak. Jadi, ya diikutin ajalah....


10. Fake it till you make it. Terkadang, bahkan orang yang paling positif pun kesulitan merasa bahagia. Nggak masalah. Hidup memang berat, kok. Kalau sudah begitu, mari kita keluarkan jurus pamungkas: fake it till you make it. Berpura-puralah sampai benar terjadi. Berpura-puralah merasa bahagia. Kalau kamu mengubah dirimu secara fisiologis, maka secara psikologis kamu akan berubah juga. Tersenyumlah, busungkan dada, tertawalah, dan menarilah. Kamu akan terkagum-kagum karena apa yang kamu lakukan itu berhasil memengaruhi apa yang kamu rasakan. Ini nggak sama dengan penyangkalan diri, ya. Ini cuma sebuah cara sederhana untuk membantumu berubah secara psikologis dan mendapatkan kembali kebahagiaanmu yang sejati.


Kebahagiaan adalah pilihan. Seperti semua kebiasaan lainnya, semakin kamu praktikkan semakin alamiah kamu melakukannya. Lakukan, dan sambutlah lebih banyak kebahagiaan dalam hidupmu.

Thursday, March 15, 2012

Konsumsi Kolaboratif. Apaan, tuh?

Jason Billows menarik perhatian saya saat saya membaca tulisannya di Zen Habits. Saya sudah lupa apa isi tulisannya, tapi begitu mengobok-obok blognya, Stop and Breathe, saya kagum pada pemikirannya tentang minimalisme, meditasi, serta hidup sehat dan seimbang. Salah satu tulisan yang cukup "mengusik" saya adalah tulisan di bawah ini, tentang sebuah konsep bernama konsumsi kolaboratif atau collaborative consumption. Selamat membaca.


Udah, ngga usah beli. Mending nyewa saja.”

Pasti kita sering mendengar ungkapan semacam itu, terutama pas kita lagi merencanakan atau menginginkan sesuatu, tapi kantong tidak cukup gendut untuk mewujudkannya. Zaman sekarang, hampir semua barang bisa disewakan. Dari dulu kita sudah mengenal istilah indekost. Atau sewa rumah. Juga perpustakaan. Kini urusan sewa-menyewa sudah menyentuh ke barang-barang seperti mainan anak-anak, apartemen atau kantor, mobil dan sepeda motor, alat-alat bercocok-tanam dan rumah tangga, bahkan barang-barang mewah seperti perhiasan, sepatu, atau tas bermerk untuk dipakai nampang di pesta. Tanpa disengaja, hal ini menunjukkan pergeseran nilai kepemilikan suatu barang dalam masyarakat kita menuju ke sebuah konsep yang dikenal sebagai konsumsi kolaboratif.

Konsumsi kolaboratif adalah suatu model ekonomi yang didasarkan pada pembagian, pertukaran, penjualan, peminjaman, pemberian, atau penyewaan akses terhadap suatu produk, dengan tidak membeli untuk memiliki produk tersebut sepenuhnya. Konsep ini diunggulkan oleh Rachel Botsman dan Roo Rogers dalam What Is Mine Is Yours: How Collaborative Consumption Is Changing The Way We Live sebagai sebuah revolusi sosioekonomi baru dalam cara kita mengonsumsi barang. TIME menyebut konsumsi kolaboratif ini sebagai salah satu dari 10 Ide Yang Akan Mengubah Dunia.

Penerapan tradisional dari konsumsi kolaboratif ini bisa dilihat pada perpustakaan, laundromat, pusat kebugaran, toko-toko (atau—okelah, lapak juga) pakaian bekas, bahkan obral barang bekas yang diadakan oleh tetangga yang mau pindahan. Tapi sekarang, teknologi telah memungkinkan konsep ini berkembang dalam skala yang tak pernah terbayangkan sebelumnya, dengan menciptakan suatu pasar tak terbatas yang mempertemukan jutaan orang yang menjual dan jutaan lagi orang yang membutuhkan suatu produk.

Ada tiga cara utama sebuah konsumsi kolaboratif bisa terjadi:
  1. Jaringan redistribusi. Intinya adalah mendistribusikan ulang barang-barang bekas. Bisa dibilang e-Bay adalah salah satu pelopor dalam mencetuskan teknologi ini, dan membuka suatu pasar redistribusi yang mahaluas bagi orang-orang untuk menjual dan menawarkan produk-produk mereka.
  2. Sistem layanan produk. Sistem ini memungkinkan konsumen untuk berbagi kepemilikan dan biaya-biaya yang berkenaan atas suatu produk. Contohnya ya sewa-menyewa tadi itu. Juga membeli suatu barang secara patungan untuk dipakai bersama atau bergantian. Eh, nebeng mobil teman setiap berangkat dan pulang kerja juga termasuk sistem ini, loh. Tapi jangan asal nebeng—ingatlah bahwa konsepnya adalah berbagi kepemilikan dan biaya.
  3. Gaya hidup kolaboratif. Ini adalah sebuah sistem di mana para konsumen saling menukar aset non-produk, semisal waktu, ruang, atau keahlian. Misalnya, penggunaan forum-forum diskusi untuk saling menawarkan jasa dan keahlian yang bisa dimanfaatkan oleh peserta lain.

Oke, mungkin kita akan mendapatkan kesan bahwa konsumsi kolaboratif dan tetek-bengek semacam ini hanya untuk orang-orang berkantong cekak, atau pelit, atau tidak mengikuti mode. Tunggu dulu!

Di bawah ini adalah alasan-alasan, kenapa seharusnya kita pun melakukan konsumsi kolaboratif:
  1. Penghematan. Mau kantong cekak, mau duit segudang, siapa sih yang nggak mau lihat ada sisa uang di dalam dompet? Baik membeli barang bekas (tentu bukan bekas barang, ya!), menyewa atau meminjam barang yang cuma digunakan sesekali, ataupun saling menukar barang secara online di swap.com akan menghemat sejumlah uang.
  2. Go green. Kurang keren apa coba? Dengan konsumsi kolaboratif, kita akan menjadi salah satu pejuang penyelamat lingkungan. Kok bisa? Ya bisa, karena dengan melakukan konsumsi kolaboratif, kita akan mengurangi dampak lingkungan yang ditimbulkan akibat proses manufaktur dan distribusi produk tersebut.
  3. Lebih lapang. Putuskan, kamu pengen bornya, atau pengen lubangnya? Jika kamu pengen lubangnya, kenapa juga harus membeli dan menyimpan sebuah bor, yang akan sangat jarang kamu pakai lagi? Seperti kalimat di awal tulisan ini tadi—tidak usah beli, cukup sewa saja. Tidak hanya menghemat uang, kamu juga akan mendapatkan ruang yang lebih lapang di dalam rumahmu.
  4. Memangkas matarantai transaksi. Teknologi telah mendukung konsumsi kolaboratif dengan menghubungkan produsen dengan konsumen secara langsung. Sekarang, daripada membayar Rp 1.000.000,- untuk sebuah lukisan yang dijual di sebuah galeri dan memasukkan separuh dari jumlah tersebut ke kantong-kantong perantaranya, kita bisa berhubungan langsung dengan pelukisnya secara online dan memberikan 100% uang kita murni kepadanya.

Bagaimana kita bisa melakukan konsumsi kolaboratif dalam kehidupan sehari-hari?
  1. Jual, tukar, dan berikan. Pandangi sekeliling rumahmu. Taruhan, kamu pasti dikerubungi oleh barang-barang yang tidak pernah lagi kamu gunakan. Pertimbangkan untuk menjual barang-barang tak terpakai itu, tukarkan dengan barang-barang yang kamu inginkan, atau cukup berikan saja pada mereka yang membutuhkan.
  2. Bixi di Montreal, Kanada
  3. Bepergianlah dengan sadar. Apa nih, maksudnya? Sepertinya ada yang lalu lalang dengan tidak sadar? Maksudnya begini. Menurut penelitian di Amerika Serikat, sebuah mobil menghabiskan biaya $ 8.000,- per tahun untuk memilikinya, tapi 23 jam sehari ditinggalkan begitu saja di tempat parkir dan di garasi. Kenapa nggak membagi biaya-biaya ini? Dengan menyewakannya, mungkin. Atau tidak usahlah punya mobil. Sewa saja jika sedang membutuhkan kendaraan. Jika ingin bepergian dengan teman-teman, gunakanlah satu mobil untuk dipakai beramai-ramai daripada banyak mobil dipakai sendiri-sendiri. Dijamin lebih hemat, dan lebih asyik. Menggunakan sarana transportasi umum juga sebuah ide bagus. Efek samping positifnya, kamu bisa beristirahat selama perjalanan. Ada sebuah ide lain yang lebih up-to-date: pernah nggak kepikir untuk bersepeda jika bepergian keliling kota? Banyak kota di dunia sekarang memiliki program persewaan sepeda, di mana kamu bisa mengambil dan mengembalikan sepeda di bermacam-macam tempat di seluruh penjuru kota dengan biaya yang sangat ringan. Bixi di Kanada adalah salah satu contohnya. Sayangnya di Indonesia belum ada, ya....
  4. Bagikan. Beberapa lingkungan perumahan telah memberlakukan semacam program peer-to-peer di mana bermacam-macam barang, mulai dari mesin pemotong rumput sampai peralatan barbeque dibeli dan digunakan secara bersama-sama oleh para penghuninya. Coba usulkan ide ini kepada Pak RT-mu, dan rasakan manfaat konsumsi kolaboratif ini.
  5. Gunakan media elektronik. Kamu punya buku-buku, DVD, atau CD yang nggak pernah kamu gunakan lagi? Redistribusikan barang-barang itu ke pasar online, dan lain kali hindari membeli hardcopy. Sebagai gantinya, pertimbangkan membeli atau mengunduh sebuah e-book. Jika ingin menonton film di rumah, sewa atau pinjam saja DVD-nya. Belilah musik secara online, atau jika nuranimu mengizinkan, unduh yang gratisan saja.
  6. Mari bertukar sumber daya dan keahlian. Temukan cara kreatif untuk bekerja sama dengan orang lain. Landshare di Inggris adalah sebuah contoh yang bagus. Mereka mempertemukan para petani dengan para pemilik tanah untuk saling bekerja sama. Mulailah dengan hal kecil dulu. Punya kebun yang cukup luas namun tak terurus? Panggil saja seorang pekebun untuk bercocok tanam di sana, dan sebagai imbalannya kamu bisa menikmati hasil kebun yang segar sepanjang tahun. Atau, kamu punya teman yang jago masak sementara kamu bercita-cita punya bisnis restoran? Hmm… Kenapa kalian nggak berkolaborasi saja?
  7. Berinvestasilah untuk orang lain. Sebuah organisasi bernama Kiva menjembatani investor-investor negara Barat dengan pengusaha-pengusaha di negara dunia ketiga, dengan nilai investasi lebih dari $ 224 juta dan tingkat pengembalian sebesar 98,79%. Itu Kiva. Lha kalau kita? Yang kecil-kecil dululah. Berikan modal pada seorang teman yang sedang memulai usahanya. Lalu nikmati keuntungannya bersama-sama.

Jadi, konsumsi kolaboratif apa yang sudah kamu lakukan hari ini?

Monday, March 12, 2012

Capailah Utang Nol. Segera!

Kebanyakan orang mulai menyadari bahwa uang tidak bisa membeli kebahagiaan.
Sekarang mereka beralih ke kartu kredit. --Anonim


Sebentar lagi, aku akan memberitahukan cara menabung dengan mengurangi pengeluaranmu. Tapi sebelum kamu membuka rekening tabungan, lunasilah seluruh utangmu secepat mungkin dengan uang yang telah kamu sisihkan dari pengurangan pengeluaran tadi. Kenapa? Karena bunga pinjaman jauh lebih besar daripada bunga tabungan. Saat tulisan ini dibuat, rekening tabungan hanya memberikan bunga sekitar 3% per bulan. Bahkan meskipun bunga deposito bisa mencapai 8%, bunga kredit kepemilikan rumah bisa naik sampai 18% dan bunga kartu kredit malah bisa lebih dari 24%. Jadi, gunakan tabunganmu untuk membayar utang-utangmu.

Buatlah daftar semua utangmu, dari yang bunganya paling tinggi sampai yang paling rendah. Jika kamu sedang membayar pinjaman kartu kredit, berbelanjalah dengan kartu kredit yang bunganya paling kecil. Bila memungkinkan, pindahkan tagihan kartu kredit yang lain ke kartu yang bunganya paling kecil ini, supaya beban bunganya tidak terlalu berat. Tanyakan pada penerbit kartu kreditmu apakah mereka menyediakan fasilitas ini. Ingatlah: aku tidak suka kartu kredit. Aku memberikan tip ini hanya sebagai proses untuk melunasi utang-utangmu, bukan sebagai gaya hidup permanen.

Sambil kamu mencoba melunasi utang-utang berbunga tinggi semampu tenagamu, cobalah juga untuk membayar utang-utang yang berbunga rendah dengan pembayaran minimal. Jangan pernah membayar lewat dari tanggal jatuh tempo. Dengan cara ini, penyedia kreditmu tidak akan berpikir bahwa kamu lari dari tanggung jawab. Menelepon mereka dan mengatakan bahwa kamu sedang membenahi keuanganmu juga bukan ide yang buruk, bahkan akan menimbulkan kesan yang baik tentang dirimu. Bagaimanapun, penyedia kredit selalu menyukai debitor yang kooperatif dan terbuka mengenai permasalahannya.

Oke. Aku bilang sekali lagi: Kurangi pengeluaranmu sebisa mungkin, dan gunakan uang yang kamu sisihkan untuk membayar utang-utangmu.

Capailah utang nol--segera!


Apakah kamu ingin mencapai status "utang nol"? Wujudkan impian ini. Bikin rencana skema pembayaran dan hitunglah kapan kamu akan mencapai utang nol. Cetak tanggalnya--bulan dan tahun--dengan huruf bold  sebesar mungkin, dan tempelkan di tempat yang sering kamu lihat. Miliki keyakinan, dan turuti rencanamu itu.


Bab ketujuh dari buku SIMPLIFY And Live the Good Life karya Bo Sanchez
Gambar dari Google.

Sunday, March 11, 2012

Jinakkan Monster "Aku-Ingin-Sekarang" Di Dalam Dirimu

Aku tidak percaya pada kartu kredit. (Demi kenyamanan aku menggunakan satu kartu, tapi aku selalu membayar semua tagihanku sebelum jatuh tempo setiap bulan) 

Jika aku sangat menginginkan sesuatu, aku akan menabung. Seringkali, di tengah jalan, aku menyadari bahwa aku tidak terlalu memerlukan barang yang aku inginkan itu, dan tidak jadi membelinya. Menurutku, satu-satunya pengecualian yang memperkenankan kita melakukan kredit adalah untuk berbisnis atau untuk membeli barang yang sifatnya non-depresiatif, seperti rumah atau tanah.

Aku percaya bahwa kita harus selalu hidup di bawah kapasitas penghasilan kita. 

Memang, mobil berusia 5 tahun harus lebih sering dibengkelkan. Tapi jika kamu ingin membeli mobil baru, kamu akan menambah beban pengeluaranmu 2.5 juta rupiah per bulan—selama 5 tahun!!! Kalau aku sih, mendingan punya mobil tua, tapi bisa tidur nyenyak, dan menginvestasikan 2.5 juta rupiahku untuk mendapatkan bunga harian minimal 6%.

Bukalah matamu: Jangan tertipu oleh penawaran seperti “24 Easy Payments”. Tidak ada di jagat raya ini payment (pembayaran) yang easy (mudah). Percayalah, setiap pembayaran pasti menyusahkan. Jadi, ketimbang membiarkan mereka mengenakan bunga padamu, investasikan uangmu sehingga kamulah yang mendapatkan bunganya!

Ingin belanja secara kredit? Pertimbangkan, pertimbangkan, dan pertimbangkan lagi…

Apakah ada sesuatu yang sangat ingin kamu beli sekarang, dan kamu tergoda untuk membelinya secara kredit? Tunda dulu! Tabunglah dulu uangmu setiap bulan. Jinakkan monster Aku-Ingin-Sekarang di dalam dirimu. Lalu, lihatlah apa yang terjadi pada keinginanmu setelah beberapa bulan menabung….


Bab Keenam dari buku SIMPLIFY And Live the Good Life oleh Bo Sanchez
Gambar dari Google 

Saturday, March 10, 2012

Tidak Boleh Salah Langkah Saat Meminta Maaf

Kemarin saya membaca sebuah tweet yang kurang lebih berbunyi seperti ini: "Baiklah, saya minta maaf atas kesalahan saya. Tapi Anda juga kan yang memulai dengan memprovokasi saya." Sambil senyum sendiri saya berpikir, "Ah, itu sih bukan minta maaf. Tapi minta pembenaran." Mendadak saya teringat pada sebuah artikel yang pernah saya baca tentang (anggaplah) etika meminta maaf yang ditulis oleh Randy Pausch, salah seorang inspirator saya, dalam buku fenomenalnya, The Last Lecture. Judul aslinya "A Bad Apology Is Worse Than No Apology". Sebuah permintaan maaf yang buruk lebih buruk daripada tidak sama sekali. Karena Pausch adalah seorang dosen, maka dia pun memberikan contoh-contoh kejadian dari pengalaman-pengalamannya berinteraksi dengan para mahasiswanya. Artikel inilah yang begitu ingin saya bagikan di sini. 




Permintaan maaf itu tidak seperti ujian. Dapat D, ngulang.


Aku selalu menekankan hal berikut ini kepada para mahasiswaku: ketika kamu meminta maaf, nilai yang lebih buruk daripada A nggak bakalan lulus.


Permintaan maaf yang setengah hati atau tidak tulus justru seringkali lebih buruk daripada tidak meminta maaf sama sekali, karena pihak yang tersakiti akan merasa diremehkan. Jika kamu melakukan sesuatu yang telah melukai perasaan orang lain, ibaratnya ada infeksi dalam hubungan kalian. Permintaan maaf yang benar adalah antibiotik untuk infeksi itu. Sebaliknya, sebuah permintaan maaf yang salah membuat kita seolah-olah menaburkan garam padanya.


Bekerja dalam kelompok sangat penting dalam kuliah-kuliahku. Maka gesekan antarmahasiswa adalah hal yang tak terhindarkan. Ada mahasiswa malas mengerjakan bagiannya. Ada lagi yang begitu yakin pada diri sendiri sampai-sampai meremehkan rekan-rekannya. Selalu ada hal-hal menyebalkan semacam itu. Menjelang tengah semester, saling meminta maaf adalah hal yang mutlak diperlukan. Kalau mereka tidak mau melakukan hal ini, semuanya bakalan buyar. Karena itu aku biasa memberikan ulasan singkat perihal permintaan maaf ini pada kuliah-kuliahku.


Biasanya aku memulai dengan menjelaskan dua contoh klasik permintaan maaf yang salah:


1. "Sori ya, kalau kamu nggak suka sama apa yang barusan aku lakukan." (Sepertinya sebuah usaha untuk meredam emosi, tapi jelas-jelas kelihatan kalau kamu tidak berusaha memberikan obat pada luka hatinya.)


2. "Aku minta maaf atas apa yang sudah aku lakukan, tapi kan kamu juga yang mulai." (Ini bukan meminta maaf. Ini menuntut permintaan maaf.)


Permintaan maaf yang tepat memiliki tiga unsur:
1. Aku telah melakukan kesalahan.
2. Aku menyesal melukai perasaanmu.
3. Bagaimana caranya aku memperbaiki keadaan ini?


Ya, ya... beberapa orang akan memanfaatkanmu saat menjawab pertanyaan ketiga. Tapi kebanyakan orang akan menghargai dengan tulus setiap usahamu untuk memperbaiki kesalahan. Mereka akan memberitahukan padamu cara-cara yang mudah yang bisa kamu lakukan. Bahkan seringkali mereka pun ikut serta berusaha memperbaiki hubungan kalian.


Para mahasiswa itu akan bertanya, "Bagaimana jika saya sudah meminta maaf, tetapi pihak lain itu tidak balik meminta maaf?" Jawabanku, "Itu di luar kontrol kalian. Jadi jangan pusing-pusing memikirkannya."


Jika seseorang berutang sebuah permintaan maaf padamu (dan kamu sudah meminta maaf terlebih dahulu dengan benar kepadanya) mungkin kamu masih perlu menunggu beberapa lama sampai kata-kata maaf itu keluar darinya. Bersabar sajalah. Jangan menuntut apa pun. Nantinya kesabaranmu akan mendapatkan buahnya.


So, hati-hati jika meminta maaf. Salah langkah, bisa jadi tambah salah....




Diterjemahkan dari buku The Last Lecture oleh Randy Pausch.
Gambar dari Google.
 

Saturday, March 3, 2012

Jangan Percaya Pada "Beneran. Setelah yang satu ini aku akan puas!"

Aku senang menceritakan pengalamanku ini. 

Aku duduk di kelas satu SMP, saat pencarian jatidiri menuju pria sejati dimulai di sekolah. Beberapa teman sekelasku mulai memakai celana panjang. Tiba-tiba mereka terlihat begitu dewasa, begitu matang, begitu guwapo (cakep)--sementara yang lainnya, yang masih mengenakan celana pendek, kelihatan begitu totoy (kekanak-kanakan). Aku pun memaksa Ibu untuk membelikanku sepotong celana panjang, tapi Ibu selalu bilang, "Nanti, Bo." Tahun berikutnya, di kelas dua SMP, aku adalah satu-satunya cowok yang masih mengenakan celana pendek. Rasanya memalukan sekali. Pas kelas tiga, aku satu-satunya cowok yang masih mengenakan bikini, istilah teman-temanku untuk mengolok-olok celana pendekku yang benar-benar kependekan sekarang.

Percaya, deh. Seumur-umur aku belum pernah merasa seseksi itu!!!

Akhirnya, pada hari kelulusan, aku menangis terharu waktu Ibu menghadiahiku sepotong celana panjang. Oh, aku tidak ambil pusing meskipun aku harus menggulung ujung celana itu berlipat-lipat karena terlalu panjang. Ibu bilang, "Biar masih bisa kamu pakai kalau kamu tambah tinggi nanti." Buatku, itu adalah celana panjang yang paling keren sedunia.

Ironisnya, setelah beberapa saat, perasaan menggebu-gebu itu memudar. Karena aku mulai menginginkan sepotong jins.

"Ayolah, Ibu, setiap orang punya celana jins. Paling tidak satu!" tuntutku.

Saat Ibu akhirnya membelikanku celana jins, setelah beberapa tahun merengek dan mengiba padanya, aku merasa seperti melayang-layang di awan, dan memakainya membuatku merasa sedang mengenakan celana kebesaran seorang pangeran. Aku pikir, aku akan hidup bahagia bersama jinsku selama-lamanya seperti dongeng-dongeng tentang pangeran itu--sampai teman SMA-ku bilang bahwa celana jinsnya adalah Levi's, sementara punyaku cuma Ludy's!!

Bagaimana pun, sampai hari ini, mengenakan Ludy's adalah salah satu sumber kegembiraanku.

Orang-orang bertanya padaku, "Kenapa kamu punya begitu sedikit keinginan dalam hidupmu?" Jawabannya berasal dari pengalaman bikini-ku: Aku percaya bahwa keinginan manusia tidak pernah ada habisnya. Kita terus menginginkan lebih dan lebih banyak lagi. Tidak ada satu pun yang sanggup memuaskan kita.

Jadi, jangan percaya pada keinginanmu, kalau dia bilang, "Beneran. Setelah yang satu ini, aku akan puas."


Barang apa yang sedang kamu inginkan saat ini? Pikirkan apakah kamu akan merasa puas begitu mendapatkannya?

Cobalah untuk merasa puas sekarang tanpa barang itu--karena kenyataannya adalah jika kamu tidak cukup puas sekarang tanpa barang itu, kamu tidak akan pernah merasa puas dengannya.  Hal-hal materiel tidak akan pernah membuatmu bahagia.



Bab kelima dari buku SIMPLIFY and Live the Good Life karya Bo Sanchez. 
Gambar dari Google.