Saturday, March 10, 2012

Tidak Boleh Salah Langkah Saat Meminta Maaf

Kemarin saya membaca sebuah tweet yang kurang lebih berbunyi seperti ini: "Baiklah, saya minta maaf atas kesalahan saya. Tapi Anda juga kan yang memulai dengan memprovokasi saya." Sambil senyum sendiri saya berpikir, "Ah, itu sih bukan minta maaf. Tapi minta pembenaran." Mendadak saya teringat pada sebuah artikel yang pernah saya baca tentang (anggaplah) etika meminta maaf yang ditulis oleh Randy Pausch, salah seorang inspirator saya, dalam buku fenomenalnya, The Last Lecture. Judul aslinya "A Bad Apology Is Worse Than No Apology". Sebuah permintaan maaf yang buruk lebih buruk daripada tidak sama sekali. Karena Pausch adalah seorang dosen, maka dia pun memberikan contoh-contoh kejadian dari pengalaman-pengalamannya berinteraksi dengan para mahasiswanya. Artikel inilah yang begitu ingin saya bagikan di sini. 




Permintaan maaf itu tidak seperti ujian. Dapat D, ngulang.


Aku selalu menekankan hal berikut ini kepada para mahasiswaku: ketika kamu meminta maaf, nilai yang lebih buruk daripada A nggak bakalan lulus.


Permintaan maaf yang setengah hati atau tidak tulus justru seringkali lebih buruk daripada tidak meminta maaf sama sekali, karena pihak yang tersakiti akan merasa diremehkan. Jika kamu melakukan sesuatu yang telah melukai perasaan orang lain, ibaratnya ada infeksi dalam hubungan kalian. Permintaan maaf yang benar adalah antibiotik untuk infeksi itu. Sebaliknya, sebuah permintaan maaf yang salah membuat kita seolah-olah menaburkan garam padanya.


Bekerja dalam kelompok sangat penting dalam kuliah-kuliahku. Maka gesekan antarmahasiswa adalah hal yang tak terhindarkan. Ada mahasiswa malas mengerjakan bagiannya. Ada lagi yang begitu yakin pada diri sendiri sampai-sampai meremehkan rekan-rekannya. Selalu ada hal-hal menyebalkan semacam itu. Menjelang tengah semester, saling meminta maaf adalah hal yang mutlak diperlukan. Kalau mereka tidak mau melakukan hal ini, semuanya bakalan buyar. Karena itu aku biasa memberikan ulasan singkat perihal permintaan maaf ini pada kuliah-kuliahku.


Biasanya aku memulai dengan menjelaskan dua contoh klasik permintaan maaf yang salah:


1. "Sori ya, kalau kamu nggak suka sama apa yang barusan aku lakukan." (Sepertinya sebuah usaha untuk meredam emosi, tapi jelas-jelas kelihatan kalau kamu tidak berusaha memberikan obat pada luka hatinya.)


2. "Aku minta maaf atas apa yang sudah aku lakukan, tapi kan kamu juga yang mulai." (Ini bukan meminta maaf. Ini menuntut permintaan maaf.)


Permintaan maaf yang tepat memiliki tiga unsur:
1. Aku telah melakukan kesalahan.
2. Aku menyesal melukai perasaanmu.
3. Bagaimana caranya aku memperbaiki keadaan ini?


Ya, ya... beberapa orang akan memanfaatkanmu saat menjawab pertanyaan ketiga. Tapi kebanyakan orang akan menghargai dengan tulus setiap usahamu untuk memperbaiki kesalahan. Mereka akan memberitahukan padamu cara-cara yang mudah yang bisa kamu lakukan. Bahkan seringkali mereka pun ikut serta berusaha memperbaiki hubungan kalian.


Para mahasiswa itu akan bertanya, "Bagaimana jika saya sudah meminta maaf, tetapi pihak lain itu tidak balik meminta maaf?" Jawabanku, "Itu di luar kontrol kalian. Jadi jangan pusing-pusing memikirkannya."


Jika seseorang berutang sebuah permintaan maaf padamu (dan kamu sudah meminta maaf terlebih dahulu dengan benar kepadanya) mungkin kamu masih perlu menunggu beberapa lama sampai kata-kata maaf itu keluar darinya. Bersabar sajalah. Jangan menuntut apa pun. Nantinya kesabaranmu akan mendapatkan buahnya.


So, hati-hati jika meminta maaf. Salah langkah, bisa jadi tambah salah....




Diterjemahkan dari buku The Last Lecture oleh Randy Pausch.
Gambar dari Google.
 

No comments:

Post a Comment