Thursday, March 15, 2012

Konsumsi Kolaboratif. Apaan, tuh?

Jason Billows menarik perhatian saya saat saya membaca tulisannya di Zen Habits. Saya sudah lupa apa isi tulisannya, tapi begitu mengobok-obok blognya, Stop and Breathe, saya kagum pada pemikirannya tentang minimalisme, meditasi, serta hidup sehat dan seimbang. Salah satu tulisan yang cukup "mengusik" saya adalah tulisan di bawah ini, tentang sebuah konsep bernama konsumsi kolaboratif atau collaborative consumption. Selamat membaca.


Udah, ngga usah beli. Mending nyewa saja.”

Pasti kita sering mendengar ungkapan semacam itu, terutama pas kita lagi merencanakan atau menginginkan sesuatu, tapi kantong tidak cukup gendut untuk mewujudkannya. Zaman sekarang, hampir semua barang bisa disewakan. Dari dulu kita sudah mengenal istilah indekost. Atau sewa rumah. Juga perpustakaan. Kini urusan sewa-menyewa sudah menyentuh ke barang-barang seperti mainan anak-anak, apartemen atau kantor, mobil dan sepeda motor, alat-alat bercocok-tanam dan rumah tangga, bahkan barang-barang mewah seperti perhiasan, sepatu, atau tas bermerk untuk dipakai nampang di pesta. Tanpa disengaja, hal ini menunjukkan pergeseran nilai kepemilikan suatu barang dalam masyarakat kita menuju ke sebuah konsep yang dikenal sebagai konsumsi kolaboratif.

Konsumsi kolaboratif adalah suatu model ekonomi yang didasarkan pada pembagian, pertukaran, penjualan, peminjaman, pemberian, atau penyewaan akses terhadap suatu produk, dengan tidak membeli untuk memiliki produk tersebut sepenuhnya. Konsep ini diunggulkan oleh Rachel Botsman dan Roo Rogers dalam What Is Mine Is Yours: How Collaborative Consumption Is Changing The Way We Live sebagai sebuah revolusi sosioekonomi baru dalam cara kita mengonsumsi barang. TIME menyebut konsumsi kolaboratif ini sebagai salah satu dari 10 Ide Yang Akan Mengubah Dunia.

Penerapan tradisional dari konsumsi kolaboratif ini bisa dilihat pada perpustakaan, laundromat, pusat kebugaran, toko-toko (atau—okelah, lapak juga) pakaian bekas, bahkan obral barang bekas yang diadakan oleh tetangga yang mau pindahan. Tapi sekarang, teknologi telah memungkinkan konsep ini berkembang dalam skala yang tak pernah terbayangkan sebelumnya, dengan menciptakan suatu pasar tak terbatas yang mempertemukan jutaan orang yang menjual dan jutaan lagi orang yang membutuhkan suatu produk.

Ada tiga cara utama sebuah konsumsi kolaboratif bisa terjadi:
  1. Jaringan redistribusi. Intinya adalah mendistribusikan ulang barang-barang bekas. Bisa dibilang e-Bay adalah salah satu pelopor dalam mencetuskan teknologi ini, dan membuka suatu pasar redistribusi yang mahaluas bagi orang-orang untuk menjual dan menawarkan produk-produk mereka.
  2. Sistem layanan produk. Sistem ini memungkinkan konsumen untuk berbagi kepemilikan dan biaya-biaya yang berkenaan atas suatu produk. Contohnya ya sewa-menyewa tadi itu. Juga membeli suatu barang secara patungan untuk dipakai bersama atau bergantian. Eh, nebeng mobil teman setiap berangkat dan pulang kerja juga termasuk sistem ini, loh. Tapi jangan asal nebeng—ingatlah bahwa konsepnya adalah berbagi kepemilikan dan biaya.
  3. Gaya hidup kolaboratif. Ini adalah sebuah sistem di mana para konsumen saling menukar aset non-produk, semisal waktu, ruang, atau keahlian. Misalnya, penggunaan forum-forum diskusi untuk saling menawarkan jasa dan keahlian yang bisa dimanfaatkan oleh peserta lain.

Oke, mungkin kita akan mendapatkan kesan bahwa konsumsi kolaboratif dan tetek-bengek semacam ini hanya untuk orang-orang berkantong cekak, atau pelit, atau tidak mengikuti mode. Tunggu dulu!

Di bawah ini adalah alasan-alasan, kenapa seharusnya kita pun melakukan konsumsi kolaboratif:
  1. Penghematan. Mau kantong cekak, mau duit segudang, siapa sih yang nggak mau lihat ada sisa uang di dalam dompet? Baik membeli barang bekas (tentu bukan bekas barang, ya!), menyewa atau meminjam barang yang cuma digunakan sesekali, ataupun saling menukar barang secara online di swap.com akan menghemat sejumlah uang.
  2. Go green. Kurang keren apa coba? Dengan konsumsi kolaboratif, kita akan menjadi salah satu pejuang penyelamat lingkungan. Kok bisa? Ya bisa, karena dengan melakukan konsumsi kolaboratif, kita akan mengurangi dampak lingkungan yang ditimbulkan akibat proses manufaktur dan distribusi produk tersebut.
  3. Lebih lapang. Putuskan, kamu pengen bornya, atau pengen lubangnya? Jika kamu pengen lubangnya, kenapa juga harus membeli dan menyimpan sebuah bor, yang akan sangat jarang kamu pakai lagi? Seperti kalimat di awal tulisan ini tadi—tidak usah beli, cukup sewa saja. Tidak hanya menghemat uang, kamu juga akan mendapatkan ruang yang lebih lapang di dalam rumahmu.
  4. Memangkas matarantai transaksi. Teknologi telah mendukung konsumsi kolaboratif dengan menghubungkan produsen dengan konsumen secara langsung. Sekarang, daripada membayar Rp 1.000.000,- untuk sebuah lukisan yang dijual di sebuah galeri dan memasukkan separuh dari jumlah tersebut ke kantong-kantong perantaranya, kita bisa berhubungan langsung dengan pelukisnya secara online dan memberikan 100% uang kita murni kepadanya.

Bagaimana kita bisa melakukan konsumsi kolaboratif dalam kehidupan sehari-hari?
  1. Jual, tukar, dan berikan. Pandangi sekeliling rumahmu. Taruhan, kamu pasti dikerubungi oleh barang-barang yang tidak pernah lagi kamu gunakan. Pertimbangkan untuk menjual barang-barang tak terpakai itu, tukarkan dengan barang-barang yang kamu inginkan, atau cukup berikan saja pada mereka yang membutuhkan.
  2. Bixi di Montreal, Kanada
  3. Bepergianlah dengan sadar. Apa nih, maksudnya? Sepertinya ada yang lalu lalang dengan tidak sadar? Maksudnya begini. Menurut penelitian di Amerika Serikat, sebuah mobil menghabiskan biaya $ 8.000,- per tahun untuk memilikinya, tapi 23 jam sehari ditinggalkan begitu saja di tempat parkir dan di garasi. Kenapa nggak membagi biaya-biaya ini? Dengan menyewakannya, mungkin. Atau tidak usahlah punya mobil. Sewa saja jika sedang membutuhkan kendaraan. Jika ingin bepergian dengan teman-teman, gunakanlah satu mobil untuk dipakai beramai-ramai daripada banyak mobil dipakai sendiri-sendiri. Dijamin lebih hemat, dan lebih asyik. Menggunakan sarana transportasi umum juga sebuah ide bagus. Efek samping positifnya, kamu bisa beristirahat selama perjalanan. Ada sebuah ide lain yang lebih up-to-date: pernah nggak kepikir untuk bersepeda jika bepergian keliling kota? Banyak kota di dunia sekarang memiliki program persewaan sepeda, di mana kamu bisa mengambil dan mengembalikan sepeda di bermacam-macam tempat di seluruh penjuru kota dengan biaya yang sangat ringan. Bixi di Kanada adalah salah satu contohnya. Sayangnya di Indonesia belum ada, ya....
  4. Bagikan. Beberapa lingkungan perumahan telah memberlakukan semacam program peer-to-peer di mana bermacam-macam barang, mulai dari mesin pemotong rumput sampai peralatan barbeque dibeli dan digunakan secara bersama-sama oleh para penghuninya. Coba usulkan ide ini kepada Pak RT-mu, dan rasakan manfaat konsumsi kolaboratif ini.
  5. Gunakan media elektronik. Kamu punya buku-buku, DVD, atau CD yang nggak pernah kamu gunakan lagi? Redistribusikan barang-barang itu ke pasar online, dan lain kali hindari membeli hardcopy. Sebagai gantinya, pertimbangkan membeli atau mengunduh sebuah e-book. Jika ingin menonton film di rumah, sewa atau pinjam saja DVD-nya. Belilah musik secara online, atau jika nuranimu mengizinkan, unduh yang gratisan saja.
  6. Mari bertukar sumber daya dan keahlian. Temukan cara kreatif untuk bekerja sama dengan orang lain. Landshare di Inggris adalah sebuah contoh yang bagus. Mereka mempertemukan para petani dengan para pemilik tanah untuk saling bekerja sama. Mulailah dengan hal kecil dulu. Punya kebun yang cukup luas namun tak terurus? Panggil saja seorang pekebun untuk bercocok tanam di sana, dan sebagai imbalannya kamu bisa menikmati hasil kebun yang segar sepanjang tahun. Atau, kamu punya teman yang jago masak sementara kamu bercita-cita punya bisnis restoran? Hmm… Kenapa kalian nggak berkolaborasi saja?
  7. Berinvestasilah untuk orang lain. Sebuah organisasi bernama Kiva menjembatani investor-investor negara Barat dengan pengusaha-pengusaha di negara dunia ketiga, dengan nilai investasi lebih dari $ 224 juta dan tingkat pengembalian sebesar 98,79%. Itu Kiva. Lha kalau kita? Yang kecil-kecil dululah. Berikan modal pada seorang teman yang sedang memulai usahanya. Lalu nikmati keuntungannya bersama-sama.

Jadi, konsumsi kolaboratif apa yang sudah kamu lakukan hari ini?

No comments:

Post a Comment